Wednesday, September 29, 2010

Tanda Tanya Rencana Redenominasi

Selasa, 3 Agustus 2010 19:49 WIB


ADANYA rencana untuk melakukan redenominasi rupiah dilontarkan Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution hari Sabtu lalu. Langkah ini dianggap perlu dilakukan karena nilai rupiah saat ini dirasakan tidak terlalu berarti. Pecahan mata uang Indonesia merupakan pecahan terbesar ketiga di dunia setelah mata uang Zimbabwe dan Vietnam.

Untuk itulah maka BI merencanakan untuk mengurangi angka nol di belakang pecahan mata uang yang ada. Belum ditetapkan berapa angka nol yang akan dihapuskan. Tetapi gambarannya, kalau tiga angka nol yang dihapuskan, uang Rp1.000 akan menjadi Rp1.

Dengan pengalaman lima kali pemotongan uang atau sanering yang pernah kita alami di zaman Orde Lama, pantas jika kekhawatiran terhadap adanya sanering muncul lagi di tengah masyarakat. Bagi banyak orang, tidak cukup dipahami apa yang dimaksudkan dengan redenominasi rupiah tersebut.

Kebingungan masyarakat makin bertambah ketika pejabat negara sendiri mengaku tidak tahu menahu dengan ide tersebut. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku belum mengetahui adanya rencana redenominasi rupiah. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pun menegaskan bahwa rencana itu tidak pernah ada dalam program pemerintah sekarang ini.

Pertanyaannya, mengapa langkah yang bisa memengaruhi kehidupan masyarakat, rencananya tidak disusun secara matang terlebih dahulu? Mengapa penjelasannya hanya sepotong-potong dan bahkan saling berseberangan di antara pejabat negara sendiri sehingga membingungkan masyarakat?

Apakah begitu mendesaknya rencana tersebut sehingga harus cepat-cepat disampaikan kepada masyarakat? Kalau memang mendesak mengapa tidak dilakukan penyamaan bahasa di antara pejabat negara agar kesan yang muncul di tengah masyarakat tidak mengambarkan ketidakkompakan di antara para pengelola negara.

Dalam keterangan pers yang disampaikan, Gubernur BI terpilih kembali menegaskan bahwa redenominasi rupiah tidak akan merugikan siapa pun. BI tidak akan seketika melakukan pergantian mata uang, tetapi kedua mata uang dengan denominasi yang berbeda namun dengan nilai yang sama, akan tetap berlaku di tengah masyarakat.

Pergantian akan dilakukan secara perlahan sampai sepenuhnya redenominasi rupiah akan terjadi sepuluh tahun mendatang. Pengalaman negara lain seperti Turki, redenominasi berlangsung secara mulus dengan memakan waktu sekitar 10 tahun.

Kita tidak menentang inisiatif yang dilakukan BI ini. Hanya saja pertanyaan kita, apakah ini merupakan prioritas yang harus kita lakukan? Sudahkah dipikirkan teknis pelaksanaan di lapangan? Benarkah tidak akan bisa mengambil untung dari kebijakan redenominasi ini?

Jujur inilah persoalan yang justru kita khawatirkan. Kita selalu pandai membuat kebijakan, tetapi tidak pandai dalam melaksanakannya. Kita seringkali kedodoran dalam pelaksanaan dan akibatnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang pandai mengail di air keruh.

Dalam diskusi di acara "Economic Challenges" hari Senin malam, praktisi pasar modal Adler Manurung mengingatkan bahwa bagi rakyat kecil memang redenominasi rupiah tidak ada kepentingannya. Redenominasi merupakan kepentingan bagi orang yang punya uang dan mereka punya jalan untuk bisa memetik keuntungan dari kebijakan itu.

Ketika orang-orang yang punya uang itu mencoba mencari untung, tidak masuk akal jika kemudian tidak merugikan negara. Kalau negara dirugikan, maka imbasnya pasti akan terkena kepada rakyat kecil juga. Inilah yang sebenarnya kita khawatirkan.

Meski dalam konteks yang berbeda, apa yang terjadi tahun 1998 merupakan contoh betapa rakyat akhirnya selalu jadi korban. Keharusan negara untuk menyelamatkan sistem perbankan dengan menyuntikkan dana obligasi hingga Rp 600 triliun, bebannya harus ditanggung rakyat hingga sekarang ini. Setiap tahun pajak yang dibayarkan rakyat harus dipotong Rp60 triliun hanya untuk membayari bunga obligasi.

Terlalu sering rakyat akhirnya diminta menanggung semua beban. Jangan sampai karena kebijakan yang tidak matang, karena ketidakmampuan untuk mengawal pelaksanaan, akhirnya rakyat yang harus menanggung beban dari kesalahan kebijakan.

Pejabat negara bisa setiap saat silih berganti. Gubernur BI setiap tiga tahun bisa berganti, tetapi rakyat yang menjadi "korban" kebijakan akan selamanya ada di sana. Mereka menjadi individu-individu yang selamanya harus menanggung kalau terjadi kesalahan kebijakan.

Untuk itulah kita ingin mengingatkan para pejabat negara agar berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan. Pikirkan secara mendalam setiap kebijakan yang akan ditempuh dan terutama yang harus diperhatikan adalah konsekuensi yang tidak kita inginkan, unintended consequences.

Guru Besar Universitas Queensland, Prof Kambiz Maani dalam pertemuan yang digagas United in Diversity di Jakarta belum lama ini mengatakan, segala macam persoalan yang kita hadapi sekarang ini merupakan akibat dari kebijakan yang diambil di masa lalu. Hal ini terjadi karena seringkali para pengambil kebijakan itu tidak memerhatikan unintended consequences tadi.

Inilah yang harus menjadi pembelajaran bagi kita, khususnya mereka yang ada dalam kekuasaan. Mereka harus bersikap bijak, karena jangan sampai kebijakan yang diambil justru membebani masyarakat banyak.

Masih banyak pekerjaan yang lebih penting kita lakukan. Terutama bagaimana memerkuat industri dalam negeri agar kita memiliki produk unggulan dan sekaligus mampu menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang yang sekarang masih menganggur.

Jangan sampai hanya ingin terlihat memiliki mata uang yang kuat, kita lalu mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Yaitu orientasi kita yang akhirnya sekadar menjadi pedagang dan mengimpor barang jadi bagi kebutuhan masyarakat, tanpa kita mampu membangun industri yang bisa membawa bangsa dan negara ini tampil ke depan sebagai negara yang disegani.

Kebesaran sebuah negara tidak dilihat dari seberapa kuatnya mata uang yang dimiliki, tetapi seberapa produktif dan kuatnya industri yang dimiliki. Negeri seperti China bahkan secara sengaja memerlemah nilai mata uangnya karena dengan itu mereka mampu membangun industri yang kompetitif di pasar global. Mengapa kita yang belum memiliki industri yang kuat, memilih untuk memerkuat nilai rupiah lebih dulu, bukan justru memerkuat industri kita dulu. Aneh memang kita ini!

No comments:

Post a Comment

comentario